Selasa, 02 Oktober 2012

Bumi Manusia

Bumi Manusia. Kedua kata itu ku kenal lewat tulisan seorang sastrawan yang mendadak ku kagumi setelah membacanya. Pramoedya Ananta Toer. Novel yang membuatku menangis termohek-mohek. Tentang yang menjajah dan terjajah, tentang yang berpasrah dan berlawan, tentang adat kebiasaan dan modernitas, tentang manusia. Karena semua cerita adalah tentang manusia katanya. Walau itu bertokoh hewan, para dewa, tapi sebenarnya semua tentang watak manusia. Pengetahuan, pola pikir, berkembang setelah membaca novel itu. Tentang usaha keras seorang bukan siapa-siapa yang kemudian menjadi siapa saja. Nyai Ontosoroh namanya dalam cerita itu. Yang kemudian akupun mengagumi sosok fiksi itu.
Lalu suatu hari, aku berada dalam perjalanan menuju Surabaya. Mencari kerja tentu saja, apa lagi. Perjalanan dengan naek kereta api dari stasiun Jember. Selama perjalanan, tak mampu ku pejamkan mata, walaupun aku berusaha untuk bisa tertidur. Merem ternyata tak membuahkan hasil. Akhirnya kutempelkan hape yang tak ber headset untuk mendengar musik. Aku berada di kursi paling pinggir dekat jendela, jadi aku bisa menyaksikan pemandangan di luar kereta. Melihat manusia, bangunan, persawahan, sungai. Tiba2 teringat dua kata yg kusebut di awal tulisan ini. Bumi Manusia. Ya, tentu saja, ternyata setelah ku amati, bumi ini memang tentang manusia. Bukan tentang pepohonan yang menjadi tiang promosi yang ditancapi tulisan “jasa sedot wc” atau “jasa cuci sofa”. Bukan tentang sungai berwarna cuklat yang menjadi tempat buang hajat. Bukan tentang kambing yang digembalakan untuk kesejahteraan penggembalanya. Bukan tentang kucing yang berkeliaran. Pemandangan demi pemandangan ku saksikan. Rumah seadanya di pinggir rel kereta. Benar-benar seadanya karena berdinding gedhek dan kardus beratap selapis seng tua. Kontras, ketika lalu ku saksikan gedung-gedung tinggi di Surabaya. Hypermall, rumah-rumah mewah. Ku saksikan tukang becak yang berhenti ketika kereta melaju memotong jalan. Kontras, dengan mobil mewah di sampingnya. Ku saksikan seorang ibu yang berwajah sinis dan menolak ketika seorang pengamen stasiun menyodorkan keranjang minta rupiah untuk suaranya. Kontras, detik selanjutnya kulihat dia ikut berdendang dengan bertepuk ketika pengamen itu telah pergi untuk menyodorkan keranjang ke lain orang. Kusaksikan berratus jobseeker di jobfair gramedia expo Surabaya. Kontras, dengan seorang terkasih di jauh sana yang sudah berpenghasilan namun di romusha tanpa libur dan attitude atasan yang tak terlalu baik. Dan masih banyak hal lagi yang ku lihat, dan yang terakhir yang masih hangat berputar di otakku. Seorang mas backpacker dengan ketulusannya meninggalkan tempat duduk kereta ketika ku salah jurusan dan dengan isyarat mengusir ku bilang memakai nada sinis “Permisi Mas!!”. Aku yakin mas tersebut tau bahwa aku salah kursi (bahkan salah naek kereta!) dan dia bangkit pergi tanpa mengecek kebenaran tiket kami apakah kursi itu memang hak kami. Sikap anggun lelaki macho yang tak dikenal itu, kontras…dengan sikap seorang yang dikenal, yang dulunya ku bilang teman yang melihat namun pura-pura tak melihat dengan melengoskan wajah dan bergegas pergi. Ah, manusia! Kusangsikan pepatah tak kenal maka tak sayang. Berkasih atau tidak itu tergantung pribadi yg mau membawakannya. Ah, manusia! Banyak ketimpangan yang kusaksikan. Banyak kontras yang ku saksikan. Bumi Manusia yang mampu kau urai dengan pandangan detailmu, dengan luangan detikmu, dengan halusnya rabamu, akan meng kayakan pikirmu, meluaskan syukurmu. Tentang yang sedang kau dapati, dan yang telah berlalu usai.